Beranda | Artikel
Hukum Memakan Ulat
Jumat, 2 Agustus 2024

Ulat adalah larva dari serangga tertentu, yang sering ditemukan dalam buah-buahan, keju, atau makanan lainnya. Ulat bisa muncul secara alami dalam makanan sebagai bagian dari proses pembusukan atau karena telur serangga yang menetas di dalam makanan tersebut.

Kita dapatkan sebagian masyarakat mengkonsumsi ulat, baik sebagai penyedap rasa, maupun sebagai penambah nutrisi. Artikel ini akan membahas hukum makan ulat, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadis, dan ucapan para ulama.

Keharaman memakan ulat

Mayoritas ulama (Hanafi, Syafii, dan Hanbali) sepakat bahwa memakan ulat adalah haram. Di antara alasan utama mereka adalah karena ulat termasuk dalam kategori serangga, yang dianggap khaba’its (menjijikkan).

Allah Ta’ala berfirman,

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang khaba’its (menjijikkan).” (QS. Al-A’raf: 157)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

(وأما) الحشرات فكلها مستخبثة وكلها محرمة …  ويحرم النمل والذر والفار والذباب … والديدان …

Adapun serangga, semua itu termasuk khaba’its (menjijikkan) dan semua itu haram … Dan haram pula semut, kutu, tikus, lalat, …  , ulat, …”  [1]

Alasan lain adalah karena ketika mati, ulat adalah bangkai. Allah Ta’ala berfirman,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih untuk selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh tertimpa, yang tertusuk tanduk, dan yang dimakan oleh binatang buas, kecuali yang kamu sembelih.” (QS. Al-Maidah: 3)

Sisi pendalilannya adalah bahwasanya telah terdapat penegasan yang sahih bahwa penyembelihan pada hewan yang mampu disembelih hanya boleh dilakukan di leher atau dadanya. Hewan yang tidak memungkinkan disembelih di leher atau dadanya, maka tidak ada cara untuk memakannya. Hewan tersebut haram karena tidak ada cara memakannya selain sebagai bangkai yang tidak disembelih. [2]

Bolehnya memakan buah yang berulat

Meskipun ulat itu sendiri dianggap haram, beberapa ulama memperbolehkan memakan buah yang berulat dengan syarat tertentu. Dalam pandangan mazhab Syafi’i dan Hanbali, ulat yang terdapat dalam makanan seperti buah-buahan itu boleh dimakan jika ulat tersebut dimakan bersama dengan buahnya dan tidak dipisahkan secara tersendiri.

Terdapat hadis yang mendukung kebolehan ini, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أتيَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بتمرٍ عتيقٍ ، فجعلَ يفتِّشُهُ ، يخرجُ السُّوسَ منهُ

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi dengan kurma yang sudah lama dan beliau mulai memeriksanya serta mengeluarkan ulat-ulat dari dalamnya.” (HR. Abu Dawud no. 3832, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah.)

Ketentuan bolehnya makan buah tersebut

Kebolehan tersebut tentu bukan menjadi alasan bagi sebagian orang untuk bermudah-mudahan dalam mengkonsumsi ulat, yang hukum asalnya adalah haram. Oleh karena itu, para ulama memberikan persyaratan-persyaratan tertentu [3] yang harus dipenuhi agar memakan buah yang berulat dapat dibolehkan, yaitu:

Dimakan bersama buah

Ulat harus dimakan bersama dengan buahnya, baik ulat tersebut masih hidup maupun sudah mati. Jika ulat dimakan secara terpisah, maka hukumnya menjadi haram.

Tidak dipisahkan secara tersendiri

Ulat tidak boleh dipindahkan dari buahnya dan kemudian dimakan secara terpisah. Jika ulat dipisahkan, maka tidak boleh dimakan.

Tidak mengubah sifat makanan

Ulat tidak boleh mengubah rasa, warna, atau bau makanan jika makanan tersebut cair. Jika ulat menyebabkan perubahan pada salah satu sifat makanan tersebut, maka makanan tersebut menjadi najis dan tidak boleh dimakan.

Hukum berobat dengan yang haram

Sebagian masyarakat menjadikan ulat, yang hukum memakannya adalah haram; untuk berobat. Hal ini tidak diperbolehkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pengobatan dengan yang haram, sebagaimana hadis dari Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً ، فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan obat untuk setiap penyakit. Maka berobatlah kalian dan jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud no. 3874, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah.)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata mengenai minuman keras,

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian dalam apa yang Dia haramkan atas kalian.” [Disebutkan oleh Al-Bukhari secara ta’liq (5: 2129)]

Dan dari Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ طَارِقَ بْنَ سُوَيْدٍ الْجُعْفِيَّ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَمْرِ ؟ فَنَهَاهُ أَوْ كَرِهَ أَنْ يَصْنَعَهَا ، فَقَالَ : إِنَّمَا أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ فَقَالَ : ( إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ )

Sungguh Thariq bin Suwaid Al-Ju’fi bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang khamar, maka beliau melarang atau tidak menyukainya untuk dibuat. Maka Thariq berkata, “Sesungguhnya aku membuatnya untuk pengobatan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

Sesungguhnya itu bukan obat, tetapi itu adalah penyakit.” (HR. Muslim no. 1984) [4]

Kesimpulan

Secara keseluruhan, memakan ulat hukumnya haram. Meskipun demikian, Islam memberikan kelonggaran dalam beberapa kondisi tertentu seperti ketika ulat tersebut ditemukan dalam buah-buahan dan dimakan bersama buahnya tanpa dipisahkan. Tidak diperbolehkan memakan ulat untuk pengobatan. Dalam makanan dan obat-obatan yang telah dihalalkan oleh Allah Ta’ala, terdapat kecukupan (pengganti) dari yang haram. Wallahu Ta’alala A’lam

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

***

15 Muharram 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.


Artikel asli: https://muslim.or.id/96861-hukum-memakan-ulat.html